Pembiayaan Pasien dengan Kasus Forensik Klinik

Kasus forensik yang dialami oleh korban hidup (forensik klinik) banyak didapatkan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL). Kasus-kasus yang sering terjadi meliputi penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kecelakaan (kerja maupun lalu lintas), dan kejahatan seksual.

Tentunya para korban ingin menuntut keadilan, agar pelaku mendapatkan hukuman setimpal. Langkah pertama yang harus ditempuh korban tersebut adalah melakukan laporan ke polisi untuk selanjutnya diperiksa oleh tenaga kesehatan lalu diterbitkan visum et repertum (VeR) yang merupakan salah satu alat bukti yang sah. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomer 1226 tahun 2009, korban juga bisa datang langsung ke fasilitas kesehatan dahulu untuk dilakukan pemeriksaan. Salah satu masalah sering muncul adalah pembiayaan dari korban. Bagaimanapun, sebuah pemeriksaan memerlukan pembiayaan untuk tenaga kesehatan, bahan habis pakai, dan terapi.

Seringkali pembiayaan dilakukan dengan kantong sendiri (out of pocket), karena sistem billing yang mengharuskan faskes untuk memasukkan jumlah biaya dan tidak bisa membayar dengan cara berhutang. Sistem ini memang lebih cepat dan praktis, namun akan menyulitkan bagi orang yang tidak mampu secara ekonomi atau memiliki hambatan lain untuk mengakses uang yang ada.

Menurut KMK di atas, terdapat beberapa sumber pembiayaan bagi pasien forensik klinik selain pembayaran mandiri/out of pocket, yaitu :

  1. APBN. Menurut KUHP, pembiayaan korban kejahatan menjadi tanggungan negara. Sepengetahuan penulis, dana ini bisa diakses jika pemerintah memiliki program terkait korban forensik klinik. Dana ini bisa diakses melalui Kementrian Kesehatan dan Kepolisian melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
  2. APBD. Pembiayaan jenis ini biasanya disalurkan melalui Dinas sosial. Tentunya, besaran dan cara akses dana di tiap daerah juga akan berbeda. Mekanisme pembiayaan jenis ini adalah mengisi data di form khusus lalu pembiayaan dilakukan di belakang (reimbursement).
  3. Jamkesmas, dan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai….
  4. Asuransi. KMK ini disusun sebelum diberlakukannya BPJS/JKN pada tahun 2014. Tentunya jamkesmas sudah dilebur ke dalam satu asuransi yang dikelola pemerintah bernama BPJS. Semua asuransi memiliki klausul tertentu untuk pembayaran biaya pengobatan suatu penyakit. Tidak semua asuransi mau membiayai nasabahnya yang mengalami kasus forensik klinik. Bahkan BPJS (Kesehatan) sendiri tidak lagi mau membiayai korban kekerasan seksual berdasar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Menurut penulis, pembiayaan melalui asuransi menjadi yang paling sulit dilakukan.
  5. NGO/LSM dalam maupun luar negeri. Banyak yayasan/LSM yang sudah memperhatikan masalah kejahatan yang terkait forensik klinik. Salah satu yang terkenal adalah Yayasan Riefka Annisa di Yogyakarta yang fokus pada kejahatan pada perempuan. Pembiayaan melalui NGO/LSM relatif mudah asalkan memenuhi syarat dan LSM yang ada sudah terpercaya sehingga memiliki dana terhimpun yang cukup.
  6. Kejadian Luar Biasa (KLB). Penulis belum bisa berkomentar karena belum memiliki info mengenai ini.

Karena terbatasnya informasi yang didapat penulis, maka kami akan sangat senang jika ada pembaca yang ingin berbagi hal positif terkait tulisan ini. Jika ada keterangan yang salah atau kurang, silakan menambahkan di kolom komentar. Terimakasih