Konsekuensi Hukum pada Anak yang Menjadi Pelaku Kejahatan

Baru-baru ini kita melihat berita seorang anak usia 15 tahun berinisial NF yang membunuh anak lain berusia 5 tahun. Banyak masyarakat bersimpati namun ada juga yang mengutuk perbuatan tersebut. Mungkin banyak dari anda yang bertanya-tanya, “Apakah hukuman yang pantas untuk anak tersebut?”

Pertama-tama, kita harus mendefinisikan kategori anak-anak terlebih dahulu. Menurut hukum di Indonesia, anak merupakan manusia yang berusia 0 hingga 18 tahun, termasuk yang masih berada dalam kandungan (UU no.23 tentang Perlindungan Anak). Anak merupakan tahapan penting dan spesial dalam perkembangan manusia, sehingga perlu adanya perlindungan bagi kelompok ini.

Dunia anak-anak identik dengan segala sesuatu yang lucu dan menyenangkan. Namun dunia anak juga mengalami beberapa sisi kelam. Selain menjadi korban, ada beberapa anak yang menjadi pelaku dari kejahatan, seperti dalam kasus NF tersebut.

UU no.23 tentang Perlindungan Anak sudah mengatur mengenai hal tersebut. Pada Pasal 18, disebutkan bahwa Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Penulis menelusuri bagian lain dan tidak mendapatkan adanya hukuman bagi anak yang menjadi pelaku kejahatan. Begitu pula di peraturan hukum lainnya, tidak ada yang menyebutkan sanksi bagi anak yang membunuh atau melakukan kejahatan lainnya. Sementara itu, di Pasal 26 ayat 1 terdapat pernyataan yang menyatakan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Pernyataan ini juga diperkuat di pasal 43 dan 50 agar anak mendapat pendidikan, seperti pendidikan mental dan agama.

Kasus seperti NF tidak hanya terjadi di Indonesia. Helmut Remschmidt, Matthias Martin, Gerhard Niebergall, dan Monika Heinzel-Gutenbrunner melakukan peneltian di Marburg, Jerman dan menemukan banyak juga anak yang melakukan kejahatan bahkan sampai membunuh. Publikasi berjudul “Violent Crime Perpetrated by Young People Results of a 13-Year Longitudinal Study of Offenders on Probation” ini menerangkan bahwa banyak anak yang bermasalah dalam keluarga dan sekolahnya, sehingga membuat mereka melakukan kejahatan tersebut. Sama seperti kasus NF, keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan anak namun juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya kejahatan oleh anak. Konflik antara ayah dan ibu adalah yang menjadi pemicu utama hal ini. Sebab lain dari kejadian ini adalah kelainan psikiatris yang bersifat merusak.

Kita berharap semoga tidak ada kasus seperti NF di masa depan. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda dari pemerintah dan anggota legislatif untuk merevisi UU 23 tahun 2003 kembali (sebelumnya sudah ada perubahan terhadap UU ini) terkait dengan konsekuensi hukum bagi pelaku kejahatan berstatus anak. Hal yang dapat kita lakukan sementara ini adalah penguatan dan pembinaan keluarga untuk kebaikan anak di masa mendatang.

Referensi :

Remschmidt, H; Martin, M; Niebergall, G; dan Heinzel-Gutenbrunner, M. 2014. “Violent Crime Perpetrated by Young People Results of a 13-Year Longitudinal Study of Offenders on Probation“. Deutsches Ärzteblatt International | Dtsch Arztebl Int 2014; 111: 685–91 .

Wamke, A. 2014. “Children and Adolescents as Perpetrators and Victims of Violence and Sexual Abuse”. Deutsches Ärzteblatt International | Dtsch Arztebl Int 2014; 111: 683–4

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5125d3aaf3911/dapatkah-menjerat-pidana-anak-yang-lakukan-pencabulan/

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f768a60341d9/apakah-anak-yang-melakukan-tindak-pidana-dapat-dihukum-mati/

https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-35-2014-perubahan-uu-23-2002-perlindungan-anak